buka surat ini dengan bertanya kabarmu kurasa begitu baku. Beberapa waktu lalu kita barusan berganti berita lewat pesan singkat di hp. Tetapi, ini hari di tengah-tengah hiruk pikuknya aktivitas, tersisip kangen kepadamu yang tidak dapat saya katakan. Entahlah dengan fakta malu atau jalinan kita yang sejak dahulu tidak sehangat itu. Karena itu surat ini mengenai kangen yang susah terkata, mengenai sayang yang tidak sempat terucapkan.

Kemungkinan waktu buka surat ini, kubayangkan Ibu tengah repot berbenah di dalam rumah sekalian menanti Bapak pulang. Atau tengah repot memberikan khotbah pada adik yang bengalnya mengagumkan. Bu, ditengah-tengah rutinitasmu itu, saya mengharap Ibu sempat untuk membaca suratku ini.

Kemungkinan sempat terbesit di pikiran Ibu kenapa tidak pernah dengar kata kangen dariku. Atau bahkan juga sebatas pernyataan sayang tiap tanggal 22 Desember datang. Entahlah kenapa perkataan manis itu benar-benar berat untuk disebutkan. Selanjutnya cuman pengakuan pengin pulang yang sebagai wakil hati rindu itu. Kadang sebatas pertanyaan sehatkah ibu menjadi kalimat alternatif kata kangen. Berlainan dengan rekan dan kekasih, di mana kata rindu itu bisa dengan gampang terkata tiada beban.

Kadang aku juga iri menyaksikan mereka yang dengan lepasnya merengkuh ibunya. Tidak enggan ngomong sayang dan dengan romantisnya memberi bunga pada hari Ibu tiap 22 Desember. Hubunganku denganmu kemungkinan tidak sehangat itu ya Bu? Waktu sudah menggantiku jadi makin keras. Tetapi, kehangatan itu menjelma berbentuk lain. Kehangatan itu berasa saat Ibu demikian mencemaskan kondisiku yang sedang sakit di ranah rantau. Atau bahkan juga waktu Ibu memarahiku yang sering melepaskan waktu makan pagi.

Kemungkinan jika dipikirkan ini kedengar lucu ya, Bu. Dahulu waktu kita dekat, kita kerap berdiskusi. Ya, itu sebab kita berdua punyai penglihatan yang lain mengenai hari esok. Saya yang pengin melepaskan bujang sesudah keberhasilan pada tangan, pasti berlawanan dengan Ibu yang dengan ikhlas tulus mempersembahkan hidupnya untuk keluarga. Mempertaruhkan mimpimu, menyampingkan egomu, yang semata-mata atas nama karier paling mulia, yaitu jadi ibu rumah-tangga. Nantinya, bila mimpi ini telah tercukupi, saya pengin seperti Ibu.

error: Content is protected !!