Saya pikirkan kamu menulis pesan balasan ini sepanjang tidak lebih dari 1 menit. Demikian usai, hp kembali lagi ke tempatnya semula–di dalam laci meja kerja. Ke-2 matamu langsung cepat memelototi monitor computer. Jari-jarimu saat itu juga repot menari di atas keyboard. Tidak lupa kadang-kadang tanganmu menggaruk kulit kepala atau memegangi dahi yang kemungkinan berasa lebih hangat dari umumnya.

Saya akui salah. Ingat rutinitasku yang dahulu, sesungguhnya saya malu. Nyaris tiap kita berjumpa, saya repot merajuk kasus tugasmu. Memajang muka sendu dan sedikit cemberut, saya merutuki masalah kegagalanmu membagi waktu.

Iya. Saya ngomong kamu tidak berhasil membagi waktu, Sayang. Sebab nyaris 24 jam dan 7 hari dalam satu minggu, kamu cuman tersisa sedikit untuk pacarmu. Sesaat, kamu sering kali repot dengan semua sepele temeh kepentingan kantor. Jadwal berjumpa client, rapat dengan atasan, mengakhiri bermacam laporan; semua seperti dementor yang dapat mengisap habis tenagamu.

Kita pernah kadang-kadang berkelahi masalah ini, tetapi berulang-kali juga kamu sukses membuatku tenang kembali lagi. Sekalian menggengam tanganku, kamu mulai akan menerangkan begitu kepentingan pekerjaan benar-benar tidak dapat ditinggal.

Bila riset menyebutkan wanita bisa lebih cepat dewasa dibanding lelaki, kemungkinan yang berlangsung pada kita malah kebalikannya. Saat itu saya masih kuliah, sedang kamu telah terlebih dahulu menginjak kerasnya dunia kerja. Lumrah bila saat itu saya tidak dapat berlaku dewasa seperti semestinya.

Sesudah lulus kuliah dan jalani pekerjaanku sendiri, saya mulai pahami. Apa yang dahulu saya keluhkan kepadamu, sekarang berlangsung di muka mataku. Saya berdiri di statusmu dan jadi tidak kalah sibuknya denganmu. Aku juga rasakan begitu perlu perjuangan untuk dapat raih hp dan sebatas menulis pesan: “telah makan siang, Sayang?”. Dan jika pekerjaan yang upahnya tidak berapa bila dibandingkan gajimu saja sesibuk ini, bagaimana dengan hari-hari yang sejauh ini kamu lalui?

Seseorang kemungkinan menganggapmu edan kerja, bahkan juga melabelimu selaku lelaki berambisi. Mereka anggap kamu dan kehidupanmu begitu menjemukan. Tetapi saya yang betul-betul mengenalmu terang tidak sama pendapat sama mereka. Saya memahami betul jika kamu tidak sama seperti yang mereka ucapkan.

Entahlah berapakah puluh kali beberapa kalimat jenis itu keluar dari mulutmu. Bisa disebut saya telah khatam dengar celotehmu masalah gagasan 5 sampai 10 tahun kedepan. Katamu, kamu pengin membelikan rumah untuk ayah dan ibumu. Mengharap dapat pinjamkan modal usaha untuk saudara-saudaramu. Dan waktu uang simpanan di rasa cukup, kamu juga pengin resign dan meniti usahamu sendiri.

Untuk menyeimbangi semangatmu yang berkobar-kobar, umumnya saya menerpali perbincangan kita dengan pertanyaan konyol jenis “kok kerja lagi, sich? Nikahnya kapan?”. Di tengah-tengah tawa kita yang meledak bertepatan, sembunyi-sembunyi saya repot kagum pada dirimu; lelaki karyawan keras yang punyai harapan mulia dan beberapa mimpi edan.

error: Content is protected !!